Tuesday, 20 March 2018

Transjabodetabek Premium, Bekasi-Jakarta Bukan Lagi Perjalanan 'Antarplanet'

Transportasi adalah bagian penting dari tata kota. Terutama untuk kota besar. Setiap kota besar harus memiliki sistem transportasi mumpuni untuk memudahkan pergerakan warganya. Hambatan terbesar adalah kemacetan. Tipikal kota besar, apalagi ibukota seperti Jakarta, harus menanggung konsekuensi menjadi pusat kegiatan ekonomi dari daerah-daerah penyangganya. Makanya, kemacetan selalu jadi isu tak terpecahkan.

Pak Budi Karya Sumadi, Menteri Perhubungan RI, pada kesempatan peluncuran Transjabodetabek Premium di Marketing Gallery Mega City Bekasi, Minggu 17 Maret 2018, mengatakan bahwa tidak ada jalan lain bagi kemacetan yang dihadapi saat ini selain memaksimalkan peran transportasi massal.

Sekilas contoh tentang transportasi massal. Saya senang ketika pada akhirnya ada koridor Transjakarta yang melayani rute Ciledug-Blok M. Yang mana itu melewati persis di depan kantor saya di bilangan Mampang. Kalau naik motor, dan kena macet, biasanya dari Ciledug-Mampang bisa mengahbiskan waktu hingga 1,5 jam. Cukup lama mengingat jarak tempuh sebenarnya tidak begitu jauh. Dengan adanya jalur baru Transjakarta ini, perjalanan bisa ditempuh hanya dalam waktu 30 menit. Dan jalur ini termasuk spesial karena berbentuk layang dan terbebas dari kendaraan pribadi. Bebas hambatan! Terbukti, jika angkutan umum massal terkelola secara baik, bisa menjadi solusi efektif untuk memangkas waktu terbuang akibat macet.

Macet adalah sebuah kasus khusus di Jakarta, dan sekitarnya. Dibutuhkan pendekatan khusus pula untuk menaganinya. Salah satu yang diupayakan pemerintah adalah, menetapkan kebijakan ganjil-genap di Tol Bekasi-Jakarta pada jam 06.00 – 09.00, dan menyediakan jalu khusus untuk bus angkutan umum. Jalan ini memang memiliki tingkat kemacetan yang mengkhawatirkan. Selain pintu gerbang menuju Jakarta, jalan tol ini juga banyak dilalui angkutan logistik, dan diperparah dengan banyaknya proyek pembangunan di sana-sini.

Kebijakan ganjil-genap ini sasarannya jelas, mengubah arus pergerakan masyarakat untuk beralih menggunakan kendaraan umum. Bekasi-Jakarta sudah dilayani dengan commuter line, dan beberapa feeder dengan tujuan halte Transjakarta terdekat. Namun dengan kebijakan baru ini tentunya dirasa belum memadai. Karena pasti ada beberapa populasi yang ‘terpaksa’ meninggalkan kendaraan pribadinya dan mencari alternatif melalui angkutan umum.

Kementrian Perhubungan melalui BPTJ memberi solusi dengan meluncurkan Transjabodetabek Premium. Bus ini melayani rute ke Jakarta dari Bekasi Timur, dan Bekasi Barat. Dari Bekasi Timur bus memulai rute dari Grand Dhika, dan Bekasi Trade Center dengan tujuan Grand Paragon GM, Tebet, Mall Sunter, Kalideres, dan Thamrin City. Sedangkan jika menunggu di Bekasi Barat, maka titik berangkatnya adalah dari Mega City, dan Sumarecon. Tujuannya adalah, Plaza Senayan, Kuningan, Podomoro City, Blok M, dan Thamrin City. 
Interior Transjabodetabek Premium

Awalnya tarif bus ini adalah dua puluh ribu rupiah. Tetapi Kemenhub memberikan diskon hingga 50% menjadi sepuluh ribu rupiah hingga Juni 2018. Asyiknya, Kemenhub juga bekerjasama dengan pengelola-pengelola mall untuk menjalankan program Park and Ride, di mana para penumpang Transjabodetabek Premium bisa memarkir kendaraannya dengan tarif flat lima ribu rupiah seharian.

Lalu fasilitas apa yang ditawarkan Transjabodetabek Premium sehingga pengguna kendaraan pribadi harus beralih? Untuk ukuran transportasi massal, Transjabodetabek Premium ini tergolong mewah. Disediakan wifi, colokan untuk mengisi ulang daya gadget, seat 2-2 yang nyaman dengan jok kulit seperti di mobil sport, dan kamera CCTV untuk jaminan keamanan.



Langkah pemerintah ini patut didukung dan diberi apresiasi penuh karena tidak hanya membuat kebijakan, namun juga ikut ‘menjemput’ bola agar pola pikir masyarakat bisa bergeser dari kendaraan pribadi ke angkutan umum.

Raim Laode, seorang komika, yang juga hadir di acara peluncuran Transjabodetabek Premium hari itu mengatakan hal yang bisa jadi bahan perenungan. Dikatakannya, bahwa naik kendaraan umum itu bukan perkara kita tidak mampu beli kendaraan pribadi, tetapi untuk kenyamanan di masa depan.
Raim Laode (Rompi Biru)

Betul, kan? Lebih enak naik bus. Bekasi-Jakarta sudah da bus eksekutif dengan jalur khusus pula. Bekasi-Jakarta bukan lagi seperti perjalanan antarplanet. Dengan Transjabodetabek Premium, kita tinggal duduk manis, sambil menikmati video siaran ulang pertandingan sepakbola klub kesayangan. Sampai kantor masih ganteng, masih wangi, karena tidak stres di belakang kemudi.
Share:

Thursday, 15 March 2018

Mendaki Gunung dan Keterbatasannya


Naik gunung bagi saya adalah masuk dalam kategori hobi tidak sederhana. Belum melakukannya saja sederet periapan dan peralatan harus lengkap sedia. Ransel kapasitas puluhan liter, tenda, sepatu trekking, jaket, kantung tidur berbahan polar, matras, hingga sarana penunjang macam kamera untuk memenuhi keperluan dokumentasi. Di gunung, saya menemukan pemandangan indah, dan unik yang tidak bisa saya temukan di bawah. Jadi kamera yang mumpuni wajib sekali ada dalam deretan gear di tas saya. Biasanya, sih, starter pack kamera saya itu satu buah action cam, dan mengandalkan kamera ponsel. Waktu itu pernah bawa DSLR ke gunung, tapi rusak karena tidak tahan dingin yang ekstrim. Ahirnya beli kamera aksi, deh. Dulu hanya modal googling untuk mencari spek dan harga kamera sesuai kebutuhan saya. Kini sudah ada pricebook.co.id, enak tinggal compare harga kamera yang sama antara toko online, dan offline. So, bisa tinggal comot harga terbaik secara realtime. Akurasinya juga bisa dipertanggungjawabkan karena pricebook.com bekerjasama dengan e-commerce market leader di Indonesia, dan 1000 toko offline di kota-kota besar Nusantara. Dan bukan hanya kamera, bisa juga dicari perbandingan harga barang elektronik lain semisal ponsel, tablet, sampai power bank.

Ketidaksederhanaan lain saat mendaki gunung adalah kesiapan fisik yang menuntut untuk selalu dalam kondisi di puncak performance. Banyak pendaki yang gagak ke puncak karena di tengah pendakian terkena hipotermia, cedera kaki, sampai masuk angina. Berbeda dengan model traveling lainnya yang kalau capek tinggal istirahat, beli minum, atau tinggal tidur di hotel. Di gunung semuanya serba terbatas. Istirahat paling mewah adalah selonjoran di tanah datar, bawah pohon rindang, dan beratapkan selembar fly sheet. Itu pun masih harus berjuang menahan dingin.

Lalu ada variabel lain berupa ketidakpastian cuaca. Sampai basecamp pendakian hati senang nan riang karena matahari bersinar tak kalah semangat dengan para pendaki. Awan-awan serupa kapas seperti menjanjikan adanya pemandangan spektakuler di atas sana. Namun apalah daya, ketika sampai di atas cuaca penuh kabut sehingga yang dijumpai hanyalah warna putih menuju kelabu. Ini belum termasuk jika datang hujan lalu mengubah medan pendakian menjadi sungai kecil penuh lumpur. Dan yang teburuk, badai angin sanggup menerbangkan tenda-tenda pendaki.

Kemudian, memilih partner dalam mendaki juga bukan perkara mudah. Uniknya naik gunung adalah, kita berada dalam situasi serba terbatas. Tetapi, karakter kepribadian seseorang akan tertarik tanpa batasan sekat hingga ke titik maksimal. Yang ketika di bawah mungkin kesehariannya pendiam, bisa jadi ketika di gunung menjadi periang karena begitulah watak aslinya. Yang apes kalau kebagian partner dengan sifat kurang bagus dan tidak terlihat ketika di bawah. Setelah sampai di atas, baru tahu kalau dia malas, jorok, gampang tersinggung, dan egois. Hal-hal seperti itu bisa bikin keseruan naik gunung berkurang banyak jika kita tidak mengurangi ego untuk menerimanya.

Soal makan bagaimana? Ya seadanya juga. Yang pening kebutuhan kalori agar tubuh tetap bertenaga dan hangat selalu tercukupi. Biasanya bawa beras. Tapi karena masaknya hanya memakai kompor gunung dan nesting, kadang-kadang nasinya kurang tanak. Bisa tidak matang, atau justru terlalu matang. Di gunung mah enak-enak saja! Bahan makanan instan dan kalengan sangat membantu demi menjaga cita rasa. Jangan khawatir tidak bisa memasak. Saya pun bingung ketika di gunung saya bisa bikin telur balado, padahal biasanya bisa bikin telur mata sapi dengan kuning tertata rapih saja saya sudah merasa sejajar dengan Gordon Ramsay. Jangan pernah remehkan the power of perut lapar di gunung. Everything is possible!

Dan keterbatasan paling menonjol jika di gunung adalah, akses terhadap teknologi dan komunikasi. Komunikasi betul-betul putus tanpa sisa karena biasanya sinyal ponsel sudah lenyap begitu mulai mendaki ketinggian. Kecuali kita membawa telepon satelit. Untuk teknologi, barang tercanggih yang bisa saya bawa adalah kamera, dan ponsel. Ini penting untuk keperluan dokumentasi perjalanan saya dalam bentuk foto atau video. 
Siapa tau ada yang ngabarin, ye, kan...
Yakin deh, kalau melihat pemandangan dari atas gunung siapa pun tidak akan tahan untuk berdiam diri dan mengabaikannya. Menangkap citra lanskap, atau sesekali narsis swafoto dengan background hijau savanna atau putih hamparan awan, adalah keniscayaan tidak terhindarkan. Masalahnya kadang suka khilaf, dan kalap hingga tidak terasa daya batere kamera atau ponsel tandas di tengah sesi foto. Mau mengisi daya lewat steker listrik jelas tidak bisa, PLN cukup waras untuk tidak mengalirkan listrik ke atas gunung.

Satu-satunya jalan ya keharusan membawa powerbank. Dan ada, setidaknya, dua gadget yang mesti saya isi dayanya, yaitu ponsel dan kamera. Belum lagi kalau ada teman yang pinjam. Jadi butuh powerbank dengan penyimpanan daya cukup besar. Kalau cari spesifikasi power bank yang cocok dan enak buat naik gunung sih hanya ada satu nama, VIVAN. Yang model VIVAN POWER ELITE MF20 sudah mengakomodir kebutuhan daya gadget para pendaki. Jangankan ponsel dan kamera, powerbank ini bisa membangkitkan TV LED, lampu belajar, printer, hingga refrigator portable. Gokil! Saya bisa leluasa bawa chargable baterai untuk senter, headlamp, atau lampu tenda. Pendeknya, dengan kemampuan seperti di atas, memiliki VIVAN Powerbank seperti menggenggam accu portable dalam genggaman untuk keadaan darurat listrik, kapasitasnya 20,800 mAh! Bisa jadi power bank laptop juga, tidak perlu khawatir memilih cafĂ© ada colokannya atau tidak kalau butuh tempat tenang untuk kerja atau blogging. Pride yang didapat dengan memiliki VIVAN adalah, ini powerbank pertama yang mampu mengisi daya laptop. Ada garansinya loh kalau rusak bukan karena human error. 
VIVAN Power Bank

VIVAN Power Bank

Untuk pendaki gunung, efektifitas dan efisiensi ruang dalam ransel adalah hal mutlak. VIVAN Power Bank ini punya dimensi ramping sehingga hemat ruang dalam tas. Bobotnya pun ringan untuk ukuran pengisi daya portable berkekuatan besar, yakni hanya 1,88 Kg. 
VIVAN Power Bank
Jadi kalau hiking ke gunung lagi untuk keperluan elektrikal sudah bukan isu besar lagi. Senangnya =)
Share:

Tuesday, 27 February 2018

Tuesday, 20 February 2018

Pak Ou Cave, Gua Empat Ribu Patung Budha

Dalam traveling, katanya kita akan banyak mengalami kejadian tidak terduga. Serapih, dan sedetail apa pun itinenary dibuat. Misalnya ketika saya di transit di Malaysia. Waktu mendarat di Bandara KLIA2, saya tidak sadar kalau penyesuaian waktu otomatis di ponsel saya dalam mode unactive. Padahal waktu di Malaysia lebih cepat satu jam dari Indonesia, dan penerbangan saya ke Kamboja berjarak dua jam lagi waktu Malaysia. Tapi karena saya melihat jam di ponsel, jadi saya mengira masih ada tiga jam lagi buat saya leyeh-leyeh. Waktu tiga jam versi saya itu saya gunakan untuk makan, jajan di minimarket, mendengarkan musik, memperbarui status sosmed, sampai sempat-sempatnya memikirkan bagaimana jika pesawat terbang terbuat dari kardus indomi.

Beruntung saya melihat monitor informasi penerbangan, dan mata saya tepat menghunus ke nomor penerbangan saya. Sudah boarding. Saya melihat jam di ponsel, masih satu jam lagi, kok. Saya cek status zona waktu di ponsel. Ouch! Masih waktu Indonesia. Saya bertanya jam berapa ke seorang turis di sebelah, dan dia menjawab persis seperti jam keberangkatan saya. Saya pun lari, mencari gate 24 yang jaraknya sangat layak bagi saya untuk memesan ojek online. Untung sudah check in, untung keburu sadar, untung saya ganteng, dan sederet untung lain yang mengiringi rasa syukur saya.

Akibat kejadian itu saya jadi sedikit parno soal waktu, ini resiko terberat dalam solo traveling, tidak ada ‘alarm’ pengingat keteledoran. Waktu beli tiket bus Viantiane ke Luang Prabang saya berkali-kali mencocokkan jadwal keberangkatan. Petugas loketnya sampai bosan dengan pertanyaan saya kira-kira berapa lama perjalanan ke Luang Prabang. Dan saya pun tidak kalah bosan mendengar jawaban mereka, 7 jam.

Itu teorinya, karena aktualnya Viantiane-Luang Prabang adalah 10 jam. Saya harus mencoret beberapa kegiatan dalam jadwal seperti melihat sunset di Sungai Mekong, karena ketika sampai hari sudah gelap. Mau ngapain di Sungai Mekong? Mancing belut?

Jadi saya harus benar-benar memanfaatkan waktu saya di Luang Prabang yang hanya dua hari dua malam itu. Jadi saya memilah-milah atraksi apa yang bisa dimaksimalkan di Luang Prabang. Setelah keliling-keliling bertanya ke provider tur, dan penginapan, saya berkesimpulan ada tur-tur utama di kota utara Laos ini.
  •  Air Terjun Kuang Si. Saya tidak memilih ini. Karena kalau dilihat dari gambar dan videonya, air terjun serupa banyak di Bogor.
  • Bukit Phou Si. Bukit ini ada di tengah Kota Luang Prabang, jadi tidak perlu khawatir jauh. Pasti sempat ke sini asal kuat, mengingat harus naik anak tangga mirip di Batu Cave, Malaysia.
  •  National Museum. Ini juga ada di pusat kota.
  •  Elephant Tour. Secara teknis, ini trekking naik gajah menyusuri Sungai Mekong. Hmmm…di Way Kambas juga ada. Saya skip.
  •  Pak Ou Si Cave. Berbentuk gua dengan empat ribu Budha yang ada di dalamnya. Untuk ke sini, harus naik long tail boat menyusuri Sungai Mekong. Aha! Saya tertarik dan langsung memutuskan untuk ikut.

Untuk Pak Ou Si Cave tour ini, saya memilih untuk tidak memakai agen. Buat apa? Petunjuk ke dermaganya jelas, kok, letaknya persis di tepi sungai belakang National Museum. Tinggal menyusuri trotoar sampai ke bagian yang banyak perahunya. Harga turnya 25USD, yang mana kalau pakai agen bisa kena dua kali lipatnya. 25USD itu kalau dikonversi ke mata uang Laos jadi 410.000 kip. Itu juga buat saya, sih, mahal. Harga demikian memakan hampir setengah budget saya untuk Luang Prabang. Sedih. 
Perahunya, tuh...

Tur dimulai. Saya naik boat kayu dengan dominasi warna cokelat berpernis. Di anjungannya ada empat kelompok meja, dan kursi tempat peserta tur duduk. Hari itu saya berada satu kelompok dengan keluarga dari Jepang, Tiongkok, dan Korea. Asia Timur semua, saya saja yang dari tenggara. Oh iya, harga yang dibayarkan sudah termasuk makan siang. 
Foto ini diambil sambil menahan dingin

Interior perahu
Kami disambut penuh senyum, sapa, salam, oleh seorang pemandu dengan setelan jaket hitam, kemeja putih, celana bahan hitam, dan pantofel mengkilap.
“Hello my name is Sak.”

“Suck?”

“Yes, Sak!”

“I’m sorry, Suck?” Saya meyakinkan dengan ekspresi wajah heran.

“…”

“…”

“Ooohhh…no, no…not that Suck. But, S-A-K!” Paham doi.

“Oh, Sak! Di Indonesia lu adalah satuan semen buat bangun rumah.” Kata saya…dalam hati.

Kesalampahaman pun teratasi. Sak sangat bergembira ada turis nonbule, dan nonAsia Timur. Apalagi setelah saya menyebutkan saya dari Indonesia, saya terharu ketika dia bilang, “Welcome my friend! You're like us!”. Dia juga menanyakan, apakah masalah jika saat makan siang nanti saya dihidangkan daging babi. Tentu saya jawab, saya tidak makan babi. Sak mengerti, selain tidak menghidangkan babi, dia juga tidak pernah menawarkan saya bir. Excelent tourism knowledge! 
Pas makan siang
Perahu berjalan pelan melawan arus Sungai Mekong. Beberapa kali tumpangan saya harus bermanuver melewati jeram. Saya menyalahkan diri sendiri karena tidak membawa jaket. Saya kira kalau udah siang suhu Luang Prabang juga ikut naik, ternyata tetap dingin. Angin dingin cukup membuat saya mengigil karena anjungan perahunya terbuka. Ingat, kalau tidak bawa pasangan yang bisa menghangatkan dengan pelukan, sangat saya sarankan untuk memakai jaket gunung.

Setengah perjalanan, kami menepi di sebuah kampung bernama Xhanhai Village. Di kampung ini terdapat produksi minyak untuk obat dari saripati hewan-hewan yang berbisa seperti ular, dan kalajengking. Saya ditawari Sak untuk membeli, dan saya menolak. Selain duit pas-pasan, buat apa juga minyak ular? Campuran rendang? Di sini juga sentra produsen kain tenun khas Laos yang biasa dijual di night market Luang Prabang. Semakin masuk ke dalam kampung, ada kuil-kuil dan sekelompok bhiksu yang sedang beribadah. 
Penduduk Xanghai Village
Perjalanan berlanjut. Pemandangan perkampungan di tepian berubah menjadi tebing-tebing kapur. Gua tujuan kami berada di sebuah delta tempat bertemunya Mekong dan Ngum. Ngum adalah sungai terbesar ke dua di Laos setelah Mekong.

Dari bawah, terlihat tangga menuju mulut gua yang terukir di sebuah bukit kapur. Dindingnya yang putih, dan atapnya beraksen kapur-kapur seperti stalaktit tajam membuat gua ini terlihat angker. Sak mengatakan bahwa dulunya Pak Ou Cave ini tempat para kaum pagan (penganut aliran animisme dan dinamisme) memuja dewa-dewi. Lalu setelah ajaran Budha masuk ke Laos, raja yang berkuasa saat itu mengganti semua patung sesembahan itu dengan patung Budha. Konon katanya berjumlah empat ribu, mulai dari ukuran terkecil hingga gigantis. 
Di pintu gua
Pak Ou Cave terdiri dari dua tingkat. Lower cave, dan upper cave. Perlu stamina prima untuk sampai di gua bagian atas. Di pintu masuknya ada patung Budha seukuran manusia berwarna emas. Di dalamnya sangat lembab, dan berdebu. Yang punya alergi debu harus memiliki persiapan yang baik. Penerangannya juga minim, jadi berhati-hatilah supaya tidak tersandung salah satu patung. 
Patung-patung di lower cave
Upper cave yang lebih gelap
Puncak jumlah pengunjung Pak Ou Cave adalah di Tahun Baru Laos yang biasanya jatuh pada April. Saat itu penduduk dari berbagai penjuru Laos akan datang ke gua ini untuk membersihkan patung-patung Budha di dalamnya.

Tur saya hari itu berakhir pukul dua siang. Sepanjang perjalanan pulang, saya habiskan dengan berbincang bersama Sak. Baru saya ketahui, harusnya tur ini hanya bisa diikuti kalau saya menggunakan travel agen dengan booking sehari sebelumnya. Tapi karena melihat saya yang kebingungan dan sendirian, Sak menjadi sedikit iba. Dia meyakinkan pemilik kapal bahwa tidak masalah mengangkut satu orang lagi. Ya Tuhan…

“It is better if more people telling to the world about this country. Thank you for your coming, my friend!” Katanya penuh dengan nilai mulia, dan ketulusan hati tak terperi.

Perpisahan kami diawali oleh jabat erat dan rangkulan ringan sebagai sahabat antarbangsa dengan kedekatan rumpun dan kesamaan nasib terjajah di masa lampau. Tulisan ini saya anggap ‘pelunas utang’ kepada Sak untuk mengabarkan pada dunia tentang negaranya, Laos.

Mendadak harga mahal tur ini rasanya sangat pantas. Bahkan jika yang didapat adalah orang baik seperti Sak, maka saya baru saja mendapat rejeki berupa paket tur yang sangat murah. =)
Share: